Senin, 09 Maret 2009

VARIASI BAHASA DAN FAKTOR PENYEBABNYA

Bahasa merupakan sebuah karunia Allah SWT yang patut disyukuri oleh siapapun. Karena bahasa merupakan satu-satunya alat komunikasi yang tidak mungkin akan terhindarkan dari kehidupan kita sebagai binatang penutur (the speaking animal). Sejak manusia pertama bernama Adam, Allah telah mengajarinya dengan menyebut benda-benda. Saat itulah kemampuan manusia untuk berbahasa dimulai. Keturunan Adam dari generasi ke generasi berikutnya telah mewarisi dan bahkan terus menumbuhkembangkan bahasa yang sampai hari ini jumlahnya telah mencapai ribuan dan melahirkan variasi-variasi yang jumlahnya ribuan pula. Berita terakhir dari laporan UNESCO bahwa bahasa –bahasa yang akan segera punah saja mencapai 2.500 banyaknya. Bahasa sebagai alat ekspresi diri dan sebagai alat komunikasi sekaligus pula merupakan alat untuk menunjukkan identitas diri. Melalui bahasa, kita dapat menunjukkan sudut pandang kita, pemahaman kita atas suatu hal, asal usul bangsa dan negara kita, pendidikan kita, bahkan sifat kita. Bahasa menjadi cermin diri kita, baik sebagai bangsa maupun sebagai diri sendiri. Bahasa benar-benar dapat merefleksikan semua aspek kehidupan suatu masyarakat tutur.
Dari fenomena bahasa itupula muncul berbagai variasi-variasi. Seringkali antara kata “varitas” dan “variasi” membuat kita agak bingung untuk membedakannya. Tetapi sebetulnya kedua kata tersebut sama saja maksudnya. Dimana keduanya berasal dari bahasa inggris yaitu “variation” dan “variety”. Menurut Chaer dan Agustina (2003) bahwa variasi bahasa merupakan keragaman atau perbedaan dalam pemakaian bahasa. Variasi dapat terjadi apabila penutur bahasa tidak homogen. Selain itu variasi juga dapat terjadi karena keragaman kegiatan interaksi sosial penutur bahasa. Adapun faktor penentu variasi bahasa tersebut antara lain faktor waktu, tempat, sosiokultural, situasi dan faktor medium pengungkapan (Harimurti Kridalaksana, 1980). Lebih lanjut dikatakan bahwa variasi itu berkaitan dengan adanya keragaman sosial penutur dan keanekaragaman fungsi bahasa itu sendiri. Keduanya telah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi (means of interaction) dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Disamping itu, dikatakan bahwa untuk memahami lebih jauh tentang variasi bahasa, sosiolinguistik harus mampu memahami atau mendeskripsikan hubungan antara variasi bahasa dengan kelompok atau situasi sosial yang dimiliki oleh suatu masyarakat bahasa (Spolsky, 1998).
Selanjutnya variasi bahasa dapat juga berupa bentuk bagian atau varian dalam bahasa yang masing-masing memiliki pola yang mnenyerupai pola umum bahasa induknya (Suwito, 1985). Chaer dan Agustina (1995) membedakan variasi bahasa antara lain dari segi (1) penutur, (2) pemakaian, (3) keformalan, dan (4) sarana.
Dari beberapa pengertian tentang variasi diatas dapat disimpulkan bahwa variasi merupakan konsep yang memberikan hubungan antara keragaman pemakaian bahasa dengan faktor-faktor sosial dan faktor situasional. Faktor sosial misalnya status sosial, umur, jenis kelamin, kemampuan ekonomi, dan sebagainya. Sedangkan faktor situasional meliputi siapa yang berbicara, kepada siapa, dimana, mengenai apa, untuk apa dan menggunakan bahasa apa (Sumito, 1985).
Keragaman bahasa akan semakin bertambah apabila bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang banyak serta berada dalam wilayah yang luas. Variasi bahasa menurut C.A. Ferguson dan J.D. Gumperz dalam Allen (1973) yaitu, “a variety is anybody of human speech patterns which is sufficiently homogeneous to be analyzed by available techniques of synchronic description and which has a sufficiently large repertory of elements and function in all normal contexts of communication”. Sedangkan Holmes (1992) mengatakan bahwa “variety is a sociolinguistic term referring to language in context (under specific social circumstance)”. Dengan kata lain bahwa variasi bahasa merupakan keragaman atau perbedaan dalam pemakaian bahasa (Chaer dan Agustina: 2003)

Dari definisi di atas kita dapat melihat bahwa dalam variasi bahasa ada pola-pola bahasa yang sama. Pola-pola bahasa itu dapat dianalisis secara deskriptif. Pola-polanya dibatasi oleh makna tersebut yang dipergunakan oleh penuturnya untuk berkomunikasi. Peristilahan variasi bahasa memang mempunyai nama yang berbeda-beda seperti yang akan kita uraikan satu persatu berikut ini. Berdasarkan definisi di atas, variasi bahasa dapat dilihat dari beberapa segi seperti yang akan dijelaskan dibawah ini, antara lain, yaitu:

VARIASI DITINJAU DARI SEGI BAHASA PENGANTAR
Bahasa secara keseluruhan dapat berubah. Kadang-kadang perubahan bahasa terjadi dalam waktu singkat sebagai akibat dari kontak antar dua bahasa yang digunakan oleh orang-orang dengan latar belakang bahasa yang berbeda-beda. Dalam kondisi demikian dapat muncul yang namanya pijin. Kata "pidgin" sendiri konon merupakan ucapan kata Inggris "business" (bisnis) oleh orang China. Pijin biasanya memiliki tatabahasa yang sangat sederhana dengan kosakata dari bahasa yang berbeda-beda sehingga pencampuran unsur-unsur kedua bahasa tersebut menyebabkan adanya bahasa campuran. Sebuah pijin tidak memiliki penutur bahasa ibu (native speaker). Jika memiliki native speaker maka bahasa ini disebut bahasa kreol. Beberapa bahasa yang dianggap bahasa kreol di Indonesia antara lain adalah bahasa Melayu Ambon dan bahasa Melayu Betawi. Jadi, kreol merupakan akibat dari kontak bahasa juga yang merupakan pengembangan dari pijin tersebut. Kreolisasi adalah suatu perkembangan linguistic yang terjadi karena dua bahasa melakukan kontak dalam waktu yang lama yang mana penutur pijin tersebut telah beranak pinak. Begitu seterusnya jika kreol mampu bertahan dan terus berkembanga maka kreol akan bias menjadi bahasa yang lebih besar dan lebih lengkap Contohnya adalah bahasa Sierra Leona di Afrika Barat yang kemudian menjadi bahasa nasional .
Dari banyaknya bahasa-bahasa di muka bumi ini, tentu saja dihuni oleh orang-orang yang yang berbicara bahasa-bahasa yang berbeda (divergent) satu sama lain. Maka di kawasan seperti ini akan menuntut orang-orang tersebut untuk bisa saling berkomunikasi antar satu dengan yang lainnya demi kepentingan sosial dan/atau komersial. Dalam keadaan seperti ini mesti ada satu bahasa yang digunakan berdasarkan kesepakatan, yaitu disebut lingua franca. Kata ini berasal dari bahasa Italia yang artinya adalah "bahasa bangsa Frank" adalah sebuah istilah linguistik yang artinya adalah "bahasa pengantar" atau "bahasa pergaulan" di suatu tempat di mana terdapat penutur bahasa yang berbeda-beda. Sebagai contoh adalah bahasa Melayu atau bahasa Indonesia di Asia Tenggara. Di kawasan ini bahasa ini dipergunakan tidak hanya oleh para penutur ibunya, namun oleh banyak penutur kedua sebagai bahasa pengantar. Contoh lain adalah bahasa Inggris pada zaman sekarang, bahasa Mandarin untuk dikawasan asia, bahasa Arab untuk kawasan Timur Tengah, dan bahasa Swahili di wilayah Afrika Timur. Karena lebih sering Lingua Franca (Frankish language) berfungsi sebagai bahasa-bahasa perdagangan, maka masuk akal juga bila bangsa Arab memiliki pepatah “bahasa ibarat seekor kuda yang membawa seseorang menjelajahi jauh ke negeri orang” . Lingua fanca itu sendiri dapat dibedakan menjadi bahasa bisnis (perdagangan), bahasa kontak, dan internasional. Dan ia bersifat praktis dan resmi.
Disamping ketiga istilah tersebut diatas, kita juga mengenal yang namanya bahasa ibu. Yaitu bahasa pengantar untuk kepentingan keluarga, adat/ ritual, dan sarana komunikasi di etniknya. Pada kelompok tutur yang luas sering disamakan dengan bahasa daerah serta mempunyai tatabahasa, otonomi, kesejarahan, dan kadangkala ada yang sudah standar. Meskipun bahasa nasional juga dipergunakan oleh seorang ibu untuk berkomunikasi kepada anaknya. Edward sapir dan Benjamin lee whorf adalah ahli linguistic yang mempunyai hipotesis yaitu: bahasa ibu (native language; mother tongue) seorang penutur membentuk kategori-kategori yang bertindak sebagai sejenis jeruji (kisi-kisi). Melalui kisi-kisi tersebut seorang anak melihat dunia luar. Karena penglihatan si penutur terhalang oleh kisi-kisi, pandangannya ke dunia luar menjadi seolah-olah diatur oleh kisi-kisi itu. Kisi-kisi itu memaksa si penutur menggolong-golongkan dan membentuk konsep tentang berbagai gejala dalam dunia luar itu berdasarkan bahasa ibunya. Dengan demikian maka bahasa ibu dapat mempengaruhi masyarakat dengan jalan mempengaruhi bahkan mengendalikan pandangan-pandangan penuturnya terhadap dunia luar. Memang benar bahwa cara berpikir masyarakat ditentukan oleh bahasa. Misalnya orang jawa yang sejak kecil menggunakan bahasa jawa maka dia akan membedakan antara jaran (kuda) dan belo (anak kuda). Kelak jika ia belajar bahasa Indonesia atau bahasa inggris akan bertanya apa bahasa indonesianya belo. Begitu pula yang terjadi pada dou mbojo (orang Bima) yang bahasa ibunya bahasa Bima akan sulit mencari padanannya dalam bahasa lain untuk kata “kalembo ade” yang secara kontekstual merupakan sebuah ucapan yang selalu diselipkan untuk memberi semangat (mis, kalembo ade aina oci to’I ade tana’o = ayo semangat jangan pernah putus asa untuk belajar), menyuruh untuk bersabar (mis, kalembo ade nahu wati ndadi nikaku labo nggomi ari = sabar ya dik saya tidak jadi menikahi kamu), dan menolak permintaan seseorang (mis, kalembo ade nahu wati loaku lao aka rawi nikakai nggomi ari = maaf ya dik saya tidak bisa menghadiri perta pernikahanmu).
Kemudian ada bahasa nasional yaitu bahasa yang dipergunakan oleh suatu negara dalam komunikasi antarsesama warga negara, bahasa nasional bisa juga disebut bahasa persatuan. Misalnya bahasa persatuan untuk iptek, adat/ritual, politik, dan sebagainya. Tentu saja setiap negara memiliki bahasa persatuan atau bahasa nasional masing-masing. Bahasa nasional sebenarnya sama dengan bahasa negara karena keduanya mengandung unsure politik, tetapi bahasa negara terdapat unsur wilayah di dalamnya.
Selanjutnya yaitu bahasa internasional yang merupakan alat untuk berkomunikasi masyarakat internasional. Seperti kita ketahui bahasa bahasa inggris masih menjadi bahasa yang paling banyak dipelajari orang untuk kebutuhan komunikasi antar masyarakat internasional baik untuk tujuan ipptek maupun politik. Akan tetapi seiring dengan terus bersaingnya Negara-negara maju dalam hal iptek dan ketegangan secara politik maka tidak menutup kemungkinan bahasa-bahasa lain selain bahasa inggris akan menjadi bahasa utama masyarakat internasional. Misalnya sekarang telah muncul bahasa mandarin, jepang, italia, jerman yang terus berkompetisi serta berambisi untuk merajai dunia ini dengan kekuatan baik secara politik maupun ekonominya. Pertanyaannya ada-kemauan-kah kita sebagai anak bangsa Indonesia untuk ikut berkompetisi didalamnya? Tidak sekedar agar bahasa indonesia bisa dikenal luas tetapi karena ketangguhan serta sesuatu yang membuat kita memiliki posisi tawar (bargaining) di mata masyarakat internasional. Jawabannya: “we must and let’s start from now on!” dengan cara antara lain, seperti slogan berikut ini, “united we stand, divided we fall, and together we change”.
Terakhir adalah apa yang kita sebut dengan bahasa daerah atau istilah lain yaitu vernacular. Yaitu bahasa yang dipergunakan penduduk asli suatu daerah, biasanya dalam wilayah yang multilingual. Ia dipertentangkan dengan bahasa persatuan, bahasa nasional, atau lingua franca . Bangsa kita Indonesia terkenal memiliki vernacular yang sangat banyak sekali, meskipun beberapa diantaranya sudah mulai banyak ditinggalkan penuturnya. Salah satu penyebabnya adalah adanya low confidence dari pada generasi penutur bahasa itu untuk menggunakan bahasanya itu karena dianggap tertinggal.


VARIASI DARI SEGI PENUTUR/KELOMPOK TUTUR
Adapun variasi bahasa berdasarkan kelompok ini bisa dikategorikan sebagai berikut:
1. Idiolek, merupakan variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Setiap orang mempunyai idiolek masing-masing. Idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara, pemilihan diksi, gaya bahasa, susunan kalimat, ekspresi, dan bahkan karena kelainan keadaan rohani dan kemampuan intelektual . Yang paling dominan adalah warna suara, kita dapat mengenali suara seseorang yang kita kenal hanya dengan mendengar suara tersebut. Idiolek melalui karya tulis pun juga bisa, tetapi disini membedakannya agak sulit. Perbedaan lain adalah disebabkan oleh usia, jenis kelamin, kondisi kesehatan, ukuran tubuh, kepribadian, keadaan emosi, serta ciri-ciri khas pribadi.
2. Dialek, yaitu variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada di suatu tempat atau area tertentu. Bidang studi yang mempelajari tentang variasi bahasa ini adalah dialektologi.
3. Kronolek atau dialek temporal, yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Sebagai contoh, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, lima puluhan, ataupun saat ini.
4. Sosiolek atau dialek sosial, yaitu variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan dan kelas sosial para penuturnya. Dalam sosiolinguistik variasi inilah yang menyangkut semua masalah pribadi penuturnya, seperti usia, pendidikan, keadaan sosial ekonomi, pekerjaan, seks, dsb. Sehubungan dengan variasi bahasa yang berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial para penuturnya disebut dengan prokem.
5. Etnolek adalah sebuah variasi bahasa yang digunakan oleh suku tertentu dan menjadi cirri penanda identitas social diantara mereka. Istilah ini menggabungkan etnik dan dialek. Misalnya etnolek African American Vernacular pada konteks bahasa inggris amerika sebagai cirri dari pada African American atau Black society.
6. Ekolek is a language variety unique to a household (from the Greek eco (oikos) for house, as in economy or ecology, and lect for language). An ecolect probably evolves from an idiolect, which is individual specific, when other household members adopt that individual's unique words and phrases, that are not in use in surrounding households or the wider community
7. Akrolek adalah (the most prestigious form, used in formal situations, by educated speakers, often of the upper classes) variasi bahasa yang dianggap lebih tinggi atau bergensi daripada variasi bahasa lainnya .
8. Mesolek is an intermediate variety, used in less formal situations, by a majority of speakers, from all classes.
9. Basilek adalah(the low variety, used in most informal situations, by the least educated speakers, often from the lower classes) variasi bahasa yang dianggap kurang bergengsi atau bahasa rakyat kebanyakan.
(Akrolek, mesolek, dan basilek bisa juga terjadi dalam creol)
10. Vulgar adalah variasi bahasa yang digunakan oleh penutur yang kurang berpendidikan dan berkencenderungan menyatakan sesuatu apa adanya dan kasar.
11. Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan beberapa kelompok tutur yang luas yang tentu saja ada tata bahasanya, sejarahannya, memiliki otonomi, dan standar digunakan sebagi alat komunikasi suatu negara, bahasa iptek, politik dan sebagainya serta dipahami secara baik oleh masyarakat tutur yang luas (mutually intelligibility).
Memang agak sedikit membingungkan bila kita bertanya dimana letak perbedaan dan bagaimana membedakan antara bahasa dan dialek. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa dialek merupakan bahasa sekelompok masyarakat yang tinggal di suatu daerah tertentu. Dengan kata lain bahwa dialek tidak lain dari pada suatu variasi bahasa yang berbeda secara konsisten dari variasi-variasi lain dari bahasa yang sama yang digunakan di kawasan-kawasan geografis yang berlainan dan oleh kelompok – kelompok social yang juga berlainan. Untuk menentukan apakah itu bahasa atau dialek, maka cara yang bisa digunakan adalah dilihat dari sejarahnya. Sedikit banyak akan bergantung pada hubungan sejarah keduanya. Kemudian ciri lain yaitu homogenitas, yaitu adanya kesamaan unsure – unsure bahasa tertentu. Misalnya para ahli dialektologi percaya bahwa apakah katakana saja X dan Y itu dua bahasa, dua dialek, atau dua subdialek, ataukah hanya sekedar dua variasi saja, dapat ditentukan dengan mencari kesamaan kosakatanya. Jika persamaannya hanya 20% atau kurang maka keduanya disebut bahasa. Tetapi kalau mencapai 40-60% keduanya disebut dialek, dan kalau bisa mencapai 90% maka jelas keduanya hanya merupakan dua variasi saja dari sebuah bahasa. Contohnya etnis jawa mengakui bahasanya adalah bahasa Jawa, terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Bagelen (Jawa Tengah bagian selatan), dialek Solo-Yogya, dialek Jawa Timur (Surabaya, Malang, Mojokerto, Pasuruan), dialek Osing (Banyuwangi) . Contoh lain misalnya suku sasak yang mendiami pulau Lombok akan mengakui bahasanya adalah bahasa sasak (base sasak), terdiri dari dialek ngeno-ngeni, meno-meni, ngeto-ngete, kuto-kute dan meriak-meriku. Atau kebanyakan mereka menyebutnya berdasarkan wilayah penyebaran dialek itu, yaitu dialek tengah, dialek utara, dialek timur, dialek tenggara, dan dialek timur tengah .

VARIASI DARI SEGI PEMAKAIAN (FUNGSI, GAYA)
Variasi bahasa berkenaan dengan penggunanya, pemakainya atau fungsinya disebut fungsiolek, ragam atau register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra, jurnalistik, pertanian, militer, pelayaran, pendidikan, dsb. Yang termasuk register/diatype antara lain:
1. Slang merupakan variasi bahasa yang bercirikan penggunaan kosa kata yang baru ditemukan dan cepat berubah, biasanya dipakai oleh kaum muda atau kelompok sosial dan profesional untuk berkomunikasi intrakelompok, digunakan secara terbatas dan bersifat rahasia. Slang bisa dipadankan dengan bahasa gaul.
2. Kolokial merupakan variasi bahasa yang digunakan oleh penutur dalam percakapan sehari-hari secara lisan.
3. Jargon adalah variasi bahasa yang digunakan kelompok sosial atau kelompok pekerja tertentu dan tidak dimengerti oleh kelompok lain dalam lingkungan tersendiri.
4. Argot adalah variasi bahasa khas para pencuri kemudian variasi ini dipakai untuk kosa kata teknis atau khusus dalam perdagangan, profesi, atau kegiatan lainnya. Ada juga yang menganggap argot sama dengan jargon dilihat dari segi kerahasiaan.
5. Kan/cant dipakai sebagai variasi bahasa merengek-rengek atau purapura, biasanya digunakan oleh kalangan sosial rendah.
6. Patois merupakan variasi local suatu bahasa yang bersifat nonstandard. Istilah kata patois itu sendiri memang tidak secara resmi didefinisikan secara linguistic yang bias saja mengacu pada istilah yang serupa seperti pidgins, creoles, dialects, dan/atau bentuk lain dari variasi lokal. Istilah patois itu sendiri diambil dari bahasa prancis yaitu patoier yang artinya "to handle clumsily, to paw".
7. Prokem adalah variasi bahasa yang berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial para penuturnya
8. Style/ragam adalah varitas bahasa yang dibedakan atas dasar situasi tutur, dan gaya penuturan dimana sudut pandangnya dapat ditinjau dari segi kebakuan, keformalan, keindahan, kreatifitas, suasana tutur dan kelengkapan tutur. Dari segi kebakuan misalnya ada ragam baku dan ragama non-baku. Sedangkan ragam keformalan bisa dibagi lagi menjadi ragam beku, resmi, usaha, santai, akrab, resmi berciri tuturan baku, dan ragam santai berciri tuturan non baku. Kemudian bila ditinjau dari segi keindahan ada ragam sastra dan non-sastra. Sedangkan bila dilihat dari sudut kreatifitas dapat dibagi menjadi ragam beku atau idiomatic dan ragam kreatif atau selalu selalu berkembang. Terakhir adalah dapat dilihat dari suasana tutur dan kelengkapan tutur. Dari suasana tutur misalnya bias menjadi ragam sedih, ragam marah, ragam jatuh cinta, ragam sindiran, ragam penyesalan, ragam senang, ragam kecewa, ragam memberontak, dan lain-lain. Sedangkan dari sudut pandang kelengkapan tutur dapat dibagi menjadi ragam ringkas/ singkat dan ragam jelas/ lengkap


VARIASI DARI SEGI SARANA
Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan tulis atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, misalnya ketika bertelepon, bertelegraf, ber-internet (ber-email dan ber-chatting), dan ber-sms.

FAKTOR PENYEBAB ADANYA VARITAS BAHASA
Variasi-variasi seperti yang telah disebutkan diatas tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor antara lain, misalnya, tujuan bertutur, wilayah tutur, topik tuturan, dan gaya penuturan. Penyebab adanya variasi yang disebabkan oleh tujuan bertutur artinya bahwa kontent tuturan tersebut akan disesuaikan dengan apa yang akan dicapai oleh si penutur tersebut. Misalnya tuturan pada konteks berkampanya yang tujuannya untuk menarik simpati massa tentu akan sangat berbeda sekali dengan tuturaan ketika berada dalam situasi di dalam kelas atau perkuliahan. Begitu juga tuturan antara si pembeli dan penjual, tentu mereka akan menggunakan dan/atau memilih kode-kode yang tepat demi tercapainya tujuan tutur masing-masing.
Kemudian faktor variasi ditinjau dari wilayah tutur yaitu dapat dibagi menjadi wilayah tutur yang dibatasi secara geografis dan wilayah tutur secara social. Misalnya, bila dipandang dari segi berbedaan wilayah geografis tentu saja akan berbeda anatara masyarakat tutur yang ada di wilayah pegunungan dan yang berada di wilayah perkotaan. Berbedaan tersebut yang paling menonjol bisa dilihat dari tinggi-rendahnya nada. Termasuk juga dalam perbendaharaan kosakata yang dimiliki oleh kedua kelompok tutur tersebut akan berbeda, karena tentu saja disesuaikan dengan keadaan dan/atau tuntutan alam yang mereka hadapi.
Selanjutnya faktor penyebab terjadinya variasi bahasa bisa juga disebabkan oleh topik tuturan (topic pembicaraan). Misalnya obrolan para guru/dosen tentu saja akan berbeda dengan para politisi dan birokrat. Termasuk pemahaman terhadap kosakata-kosakata yang digunakan tentu saja hanya kelompok tertentu yang bias memahaminya secara baik. Misalnya istilah silabus, RPP, standar kompetensi, dan kompetensi dasar tidak akan pernah kita temukan dalam obrolan-obrolan para politisi lebih-lebih pada kelompok petani dan nelayan.
Terakhir bahwa faktor penyebab terjadinya variasi bahasa dapat disebabkan oleh gaya penuturan. Misalnya gaya penuturan seseorang ketika dia memposisikan diri sebagai presiden/menteri dan ketika dia berada dalam posisi sebagai seorang suami bagi istrinya dan/atau sebagai seorang bapak/kakek bagi anak-anak serta cucunya. Termasuk para ibu-ibu sekalian akan dengan lihai dalam menentukan style/gaya yang pas (matching) ketika berhadapan dengan teman, tetangga, atasan, bawahan, dan terlebih lagi untuk sang suami tercinta.
Sungguh maha sempurna Sang Pemilik jaga raya ini yang telah menciptakan dunia dan isinya dalam bentuk, warna, rupa, dan jenis yang multi-ragam termasuk di dalamnya adalah bahasa yang telah diciptakan sesuiai dengan kebutuhan suatu penutur yang jumlahnya ribuan yang terdiri dari beribu-ribu variasi di dalam bahasa itu sendiri.
_______________________________________________________________________________________________________
Any comments, suggestions, or criticisms
would be warmly welcomed and highly appreciated

Minggu, 01 Maret 2009

KONSEP DAN TEORI PEMEROLEHAN BAHASA

PENDAHULUAN

Pembeciraan mengenai hipotesis-hipotesis pemerolehan bahasa yang kemudian melahirkan teori-teori tentang pemerolehan bahasa memang telah banyak dibahas dan dikaji para ahli sejak awal tahun 1900-an dan bahkan pada tahun 1845 telah muncul metode “Grammar Translation Metshod”. Dimana pada tahun 1900-an dan 1940 sampai 1950-an lahir kelompok Strukturalisme dan Behaviorisme yang tokoh-tokohnya antara lain John Lock, John B. Watson (1878-1958), dan B.F.Skinner (1904-1990). Lalu kemudian muncul lagi kelompok Rasionalisme dan Kognitivisme Psikologi pada tahun 1960-an dan 1970-an yang dipelopori oleh Noam Chomsky (1928-sekarang). Kemudian lahir lagi kelompok yang menamakan diri sebagai kaum Konstruktivisme pada tahun 1980-an, 1990-an dan awal 2000 (Brown, 2000:12). Para ahli, bahkan masih terus melakukan penyempurnaan dan mencari jawaban terhadap pertanyaan–pertanyaan yang belum terjawab oleh teori-teori sebelumnya, termasuk kita (dosen dan mahasiswa yang bergelut dalam bidang bahasa) merupakan orang yang terlibat dalam usaha ini. Dengan kata lain kita memiliki rasa ingin tahu dan perhatian besar (curiosity and interest) terhadap persoalan ini.

Dari teori-teori tersebut diatas tentu akan menghasilkan metode atau pendekatan dalam pengajaran bahasa sebagai manfaat praktis (practical significance) teori-teori tersebut. Mulai dari metode tertua “Grammar Translation Method” (1845-1900) sampai dengan yang ada sekarang ini, yang kita kenal dengan istilah “Communicative Approaches” (1985-sekarang) yang diawali oleh munculnya “Hipotesis Krashen” kemudian menjadi teori yang paling banyak dijadikan acuan dalam pengajaran bahasa, khususnya bahasa kedua (second language acquisition).

Pertanyaanya adalah “How important is the theory need to know and understand?” Jawabanya adalah seperti yang dikatakan Freeman dan Long (1994) bahwa teori dapat meluruskan cara kita melihat suatu persoalan (Ghazali, 2000:13). Lebih lanjut Freeman dan Long (1994) menjelaskan ada dua macam sifat teori. Pertama, adalah teori yang bersumber dari hasil pengamatan empirik yang biasanya dirumuskan setelah setelah sebuah penelitian diulang beberapa kali kemudian dari pengulangan tersebut didapatkan hasil yang konsisten dan tentu saja didalamnya terdapat rumusan-rumusan, sehingga munculah apa yang disebut dengan “teori”. Kedua, adalah teori semestinya tidak sekedar berisi rumusan kaidah-kaidah (bank of informations) yang diperoleh dari hasil pengamatan empirik, tetapi lebih dari itu, teori harus dapat dipakai untuk memahami gejala yang kita hadapi secara jernih dan jelas. Dengan kata lain teori tersebut dapat memberikan prediksi terhadap keadaan yang akan datang secara tepat (Ghazali, 2000: 13-14).

Dengan demikian bahwa mengetahui dan memahami teori itu sangat penting dan bahkan mendesak, terutama bagi kita semua sebagai masyarakat ilmiah. Dengan demikian kita akan mudah menentukan metode atau pendekatan pengajaran yang lebih baik. Sesuai dengan tuntutan zaman sekarang ini, kita sebagai (guru dan dosen) dituntut untuk lebih mampu memberdayakan peserta didik dengan metode pengajaran dan pembelajaran yang lebih komunikatif, bersahabat, dan menyenangkan yang pada akhirnya peserta didik tidak merasa bosan dan bahkan merasa terzalimi karena tidak mendapatkan sesuatu yang lebih (sesuai dengan tuntutan zaman dimana mereka akan hidup) disebabkan oleh guru atau dosenya yang hanya mengajar dengan gaya “turun temurun”.

URAIAN SINGKAT:

A. Pemahaman Istilah (Acquisition dan Learning, Nature dan Nurture, dan Competence dan Performance)

Sebelum kita berbicara tentang teori pemerolehan bahasa, sebaiknya kita menyamakan persepsi kita terhadap beberapa istilah penting yang biasanya dipergunakan dalam topik semacam ini yang bisa saja menimbulkan salah pengertian (misconception) diantara kita, diantaranya, istilah pemerolehan (acquisition) dan pembelajaran (learning), nature dan nurture, serta istilah kompetensi (competence) dan performasi (performance). Wilkins (1974) dalam Ellis (1990:41) memberikan pengertian terhadap perbedaan istilah pemerolehan dan pembelajaran seperti berikut:

The term acquisition is the process where language is acquired as a result of natural and largely random exposure to language while the term learning is the process where the exposure is structured through language teaching. In other word, that acquisition and learning were synonymous with informal and formal language learning context.

Meskipun masih banyak pengertian lain yang diberikan para ahli mengenai kedua istilah tersebut, namun kita dapat membedakan keduanya dan menarik kesimpulan bahwa pemerolehan merupakan proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language/mother tongue) sedangkan “pembelajaran adalah proses yang dilakukan (umumnya dewasa) dalam tatanan yang formal, yakni, belajar di kelas/di luar (indoor dan outdoor class) dan diajarkan oleh guru. Lebih rinci mengenai aspek perbedaan keduanya bisa dilihat pada Ellis (1990) dalam bukunya “Instructed Second Language Acquisition. Namun demikian ada juga yang menggunakan istilah “pemerolehan bahasa kedua” (second language acquisition) seperti Krashen (1972), Nurhadi, dan lain-lain.

Disamping kedua istilah diatas, yang bisa menimbulkan salah pengertian kita terutama karena kemiripan pengucapannya adalah sifat pemerolehan yaitu nurture atau nature. Istilah tersebut memang lahir dari kedua tokoh yang berlainan aliran dan bidang kajian yang berbeda pula, dimana istilah nurture merupakan kesimpulan dari teori Behaviorisme yang mengatakan bahwa otak manusia dilahirkan seperti tabulrasa (blank slate/piring kosong) dimana blank slate ini akan diisi oleh alam sekitarnya. Pelopor moderen dalam pandangan ini adalah seorang psikolog dari Universitas Harvard yaitu, B.F. Skinner. Sedangkan istilah nature adalah lahir dari teori Innatisme yang dipelopori oleh Noam Chomsky (1960an) yang mengatakn bahwa manusia dilahirkan dengan Innate Properties (bekal kodrati) yaitu bersama Faculties of the Mind (kapling minda) yang salah satu bagiannya khusus untuk memperoleh bahasa, yaitu Language Acquisition Device (piranti pemerolehan bahasa). Karena alat ini berlaku semesta, maka kemudian Chomsky merumuskan teorinya dengan istilah Universal Grammar (tatabahasa semesta). Jadi perkembangan pemerolehan bahasa anak akan seiring dengan pertumbuhan faktor biologisnya (Ghazali: 2000 dan Dardjowidjojo: 2005).

Meskipun terjadi perbedaan sifat pemerolehan seperti disebutkan diatas, namun antara Nurture dan Nature sama-sama saling mendukung. Nature diperlukan, karena tanpa bekal kodrati makhluk tidak mungkin anak dapat berbahasa sedangkan nurture diperlukan, karena tanpa input dari alam sekitar bekal yang kodrati itu tidak akan terwujud (Dardjowidjojo, 2003:237).

Dari teori Universal Grammar Chomsky tersebut diatas muncul istilah competence dan performance. Chomsky (1960) mengatakan bahwa: “Competence: What we know - Our deep structure - What we are capable of doing while Performance: What we show - Our surface structure - What we do” (Elliot, 1996:7-9). Dalam pengertian lain bisa juga dikatakan bahwa yang disebut dengan kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari, sedangkan performasi merupakan kemampuan memahami dan melahirkan atau menerbitkan kalimat-kalimat baru (Chaer, 2003:167). Sehingga ketika seseorang memiliki kompetensi berbahasa yang baik dan benar maka sudah bisa dipastikan orang tersebut akan sukses dalam performasinya (spoken&written language), kecuali orang tersebut mengalami language disorders seperti dyslexia dan aphasia.

B. Teori – Teori Pemerolehan Bahasa

1. Teori Behaviorisme

Teori ini mulanya, terilhami oleh seorang filusuf Inggris yang hidup pada abad ke- 17 salah satu tokoh Empirisme yaitu John Lock yang kemudian dianut dan disebarluaskan oleh John B. Watson seorang tokoh terkemuka alisan Behaviorisme dalam Psikologi. Meskipun sebelumnya telah dijelaskan oleh seorang filusuf dan juga negarawan asal Inggris yang bernama Francis Bacon di awal abad ke-17 baru kemudia dimunculkan oleh Lock dan John B. Watson dalam berbagai tulisan mereka di jurnal-jurnal ilmiah (Encarta Encyclopedia:2006). Mereka mengklaim bahwa otak bayi waktu dilahirkan sama sekali seperti kertas kosong/piring kosong (tabularasa/blank slate), yang nanti akan diisi dengan pengalaman-pengalaman. Dengan kata lain bahwa semua pengetahuan dalam bahasa manusia yang tampak dalam perilaku berbahasa adalah merupakan hasil dari integrasi peristiwa-peristiwa linguistik yang diamati dan dialami manusia (Chaer, 2002:173).

Sejalan dengan anggapan diatas mereka (kaum behaviorisme) menganggap bahwa pengetahuan linguistik terdiri hanya dari rangkaian hubungan – hubungan yang dibentuk dengan cara pembelajaran “stimulus – respons”, dimana bahasa diasumsikan sebagai sekumpulan tabiat-tabiat atau perilaku-perilaku yang kemudian ditulis pada tabularasa otak anak.

Anggapan ini kemudian mendapat kritik dari para ahli lain terutama dari Chomsky pakar teori transformasi generative. Chomsky menganggap bahwa kaum behaviorisme tidak mampu menjelaskan proses pemerolehan bahasa itu sendiri. Kritik dari Chomsky ini mengundang reaksi dari pengikut kaum behaviorisme seperti Jenkin dengan teori mediasinya dengan mengatakan bahwa: “Learners receive linguistic input from speakers in their environment and they form associations between words and object or events”. Tetapi tetap saja apa yang mereka usahakan tidak mampu menjawab faktor kreatifitas dalam penggunaan bahasa serta bagaimana kompetensi bahasa digunakan untuk membuat dan memahami kalimat-kalimat baru yang belum pernah dibuatnya, begitu pula dengan pengikutnya yang lain seperti Bloomfield and Skinner yang mendasari pada hipotesis tabularasa dan teori stimulus-respons.

2. Teori Innetisme

Teori ini dipelopori oleh Noam Chomsky pada awal tahun 1960-an sebagai bantahan terhadap teori belajar bahasa yang dilontarkan oleh kaum behaviorisme tersebut. Noam Chomsky berkesimpulan bahwa teori behaviorisme tidak mampu menjelaskan proses pemerolehan bahasa dan kompetensi linguistiknya. Pemerolehan bahasa bukan didasarkan pada nurture (pemerolehan itu ditentukan oleh alam lingkungan) tetapi pada nature, artinya anak memperoleh bahasa seperti dia memperoleh kemampuan untuk berdiri dan berjalan. Anak tidak dilahirkan sebagai tabularasa, tetapi telah dibekali dengan Innate Properties (bekal kodrati) yaitu Faculties of the Mind (kapling minda) yang salah satu bagiannya khusus untk memperoleh bahasa, yaitu “Language Acquisition Device”, karena alat tersebut berlaku semesta maka kemudian Chomsky merumuskan teorinya dengan istilah Universal Grammar (tatabahasa semesta).

Lebih lanjut Chomsky mengatakan bahwa lingkungan hanya berfungsi sebagai pemberi masukan dan Language Acquisition Device itulah yang akan mengolah masukan (input) dan menentukan apa yang dikuasai lebih dahulu seperti bunyi, kata, frasa, kalimat, dan seterusnya (Clark&Clark, 1977). Dengan demikian, bahwa kemampuan yang dimiliki manusia telah terprogram secara biologis agar manusia dapat belajar bahasa. Kemudian kemampuan itu tumbuh dan berkembang sejalan dengan bertumbuhan biologis anak (otak, organ bicara, dll) yang pada akhirnya mampu mempelajari kaidah tata bahasa. Sehingga kalimat-kalima yang belum pernah didengar sebelumnya akan tetap mampu di ujarkan secara benar dan konsisten karena ada LAD/PPB tersebut.

3. Teori Kognitivisme

Berawal dari pernyataan Jean Piaget (1926) yang berunyi “logical thinking underlies both linguistic and nonlinguistic developments”, kemudian memancing para teoritis (1970-an) untuk kembali mengembangkan teori kognitif yang semula dikenal dalam ilmu psikologis, untuk menerangkan pertumbuhan kemampuan berbahasa yang mereka anggap belum memuaskan dari penjelasan Chomsky diatas. Mereka mengatakan bahwa anak lebih dahulu mengembangkan pengetahuan dunia secara umum (nonlinguistic knowledge), barulah ia kemudian menerapkan kemampuan bahasanya (linguistic knowledge). Dalam kaitannya dengan perkembangan kemampuan berbahasa, kaum kognitivisme mengatakan bahwa anak harus lebih dahulu memiliki kemampuan memetakan pikiran logis terhadap kategori dan hubungan yang ada dalam bahasa. Pemetaan tersebut terjadi melalui proses asosiasi (bagaimana proses asosiasi ini terjadi silakan lihat Chaer, 2002). Perbedaan dan kesamaanya dengan teori Chomsky yaitu:

INNATISME

KOGNITIVISME

Perbedaan

1

Kemampuan kognitif telah terprogram sebelum ia dilahirkan

Kemampuan kognitif itu tumbuh akibat anak berinteraksi dengan lingkungannya

2

Berbicara mengenai kemampuan belajar bahasa

Berbicara tentang kemampuan berpikir logis

3

Peran berpikir logis tidak penting

Peran berpikir logis sangat penting

4

Kemampuan belajar bahasa merupakan ciri unik yang hanya dimiliki manusia

Kemampuan berpikir logis merupakan ciri unik yang hanya dimiliki manusia

5

Perkembangan knowledge of language berkembang secara terpisah dari perkembangan berpikir logis

Aspek berpikir logis mestinya berkembang lebih dahulu sebelum anak mengembangkan bahasanya

Persamaan

1

Sama-sama memiliki pandangan tentang pertumbuhan kemampuan bahasa

2

Sama – sama berpendapat bahwa apa yang diperoleh anak adalah categories and rules of language

3

Sama – sama menyetujui bahwa kedua pengetahuan itu (categories and rules of language) terletak didalam otak pembelajar bahasa

Sumber: Ghazali (2000); Owens (1992)

4. Teori Interaksionisme

Teori ini berpandangan bahwa baik faktor psikologis maupun sosial, keduanya ikut mengambil peran dalam proses pemerolehan bahasa kedua. Teori ini banyak dipengaruhi oleh hasil penelitian psikolinguistik experimental dan psikologi kognitif. Kaum Interaksionis menekankan pentingnya interaksi yang berlangsung antara individu, antara individu dengan kelompok, maupun antara kelompok dengan kelompok lain dan seterusnya sehingga membentuk “conversations”. Karena dengan adanya kondisi demikian akan membantu pembelajar bahasa untuk mendapatkan akses pada pengetahuan baru tentang bahasa target, tentu saja hal ini akan terjadi bila didukung penuh oleh si interlocutor (orang yang diajak bicara) (Lightbown & Spada, 1999:43). Jadi, baik Hatch (1992), Teresa Pica (1994), dan Michael Long (1983) mengatakan bahwa “much of L2 acquisition takes place through conversational interaction, since what the learners need is not a simplification of linguistic form but an opportunity to interact with other speakers, in way which lead them make adaptation” (Lightbown & Spada, 1999:43).

Terlepas dari segala kelebihan yang melekat pada teori interaksionis ini, bukan berarti tanpa kritik, seperti, yang dialami oleh teori sebelumnya. Antara lain, kritiknya adalah bahwa ada banyak hal yang mesti diketahui oleh pembelajar yang tidak ada bersama input itu, sehingga perlu kembali merujuk ke teori innatisme, seperti prinsip-prinsip bawaan yang dikatakan Chomsky.

5. Teori Pemerolehan Bahasa Kedua dari Krashen (Second Language Acquisition)

Ada Sembilan hipotesis yang diajukan Stephan Krashen mengenai pemerolehan bahasa kedua (Ghazali, 2000 dan Chaer, 2002), tetapi berikut hanya akan dibahas lima diantaranya yang dianggap paling berpengaruh dalam proses pemerolehan bahasa kedua/target. Kelima hipotesis itu adalah sebagai berikut:

1. Hipotesis Pemerolehan-Pembelajaran (Acquisition-Learning Hypothesis)

Hipotesis ini menyatakan bahwa ada dua sistem belajar bahasa kedua, setiap sistem terpisah satu sama lain namun saling terkait. Kedua hal tersebut adalah acquired system dan learned system. Acquired system mengacu ke proses bawah sadar yang dikembangkan oleh seorang anak ketika belajar bahasa pertmanya (native language). Selama proses pemerolehan ini biasanya anak tidak terlalu fokus dengan structure, tetapi lebih pada meaning. Sedangkan learned system mengacu pada usaha anak untuk menguasai structure sederhana bahasa kedua. Biasanya hal ini dilakukan dalam situasi yang formal.

2. Hipotesis Monitor (Monitor Hypothesis)

Hipotesis ini menjelaskan bagaimana hubungan anatara acquired system dan learned system tersebut diatas. Acquired system itu akan bertindak sebagai pengambil inisiatif dalam performasi. Sedangkan pengetahuan yang didapat dari learned system berperan sebagai penyunting dan pengoreksi apabila ada kesalahan dalam structure. Tentu saja peran learned system sebagai penyunting akan sukses bila memenuhi tiga macam kondisi berikut: 1). Pemakai bahasa memiliki waktu yang memadai/tidak terburu-buru. 2). Pemakai bahasa memusatkan perhatiannya pada language structure yang diperlukan. 3). Pemakai bahasa mengetahui structure yang diperlukan pada saat ia berinteraksi.

3. Hipotesis Urutan Alamiah (Natural Order Hypothesis)

Hipotesis ini menyatakan bahawa dalam proses pemerolehan bahasa anak-anak memperolehan unsur-unsur bahasa menurut urutan tertentu yang dapat diprediksi sebelumnya. Urutan yang dimaksud bersifat alamiah, yaitu, melalui empat tahap: 1. Producing single words.2. Stringing words together based on meaning and not syntax. 3. Identifying the elements that begin and end sentences. 4. Identifying the different elements within sentences and can rearrange them to produce questions.

4. Hipotesis Masukan (Input Hypothesis)

Hipotesis ini menerangkan tentang proses pemerolehan bahasa pada pembelajar bahasa kedua. Pemerolehan itu dapat terjadi apabila masukan (input) itu dapat dipahami (comprehensible). Comprehensible input itu bisa didapatkan melalui tuturan dan bacaan yang dapat dipahami maknanya. Untuk memahami input itu pembelajar bisa dibantu dengan penguasaan tatabahasa yang telah diperoleh sebelumnya, pengetahuan tentang dunia, penjelasan atau gambar-gambar dan struktur tersebut dipahami dan bantuan penerjemahan.

5. Hipotesis Saringan Afektif (Affective Filter Hypothesis)

Hipetesis ini menekankan akan pentingnya faktor dalam diri pembelajar bahasa (external factors) dalam mensukseskan pemerolehan bahasanya. Faktor-faktor tersebut yaitu: motivasi (motivation), keyakinan diri (self-confidence), dan rasa takut (anxiety). Jika pembelajar memiliki motivasi dan kepercayaan diri yang tinggi maka ia akan memiliki peluang lebih besar untuk sukses. Sebliknya jika ia masih memiliki rasa takut (anxiety) untuk mengungkapkan sesuatu yang diperolehnya atau melakukan latihan, maka akan terjadi mental block (saluran mental yang buntu) sehingga akan menghambat proses pemerolehan bahasanya. Mental block itu akan menghambat comprehensible input ke dalam Language Acquisition Device.

KESIMPULAN

Terlepas dari segala bentuk kelebihan dan kekurangan yang dimiliki masing-masing teori diatas, ini merupakan usaha keras para ahli, baik ahli bahasa sendiri maupun ahli psikologi untuk menemukan jawaban terhadap permasalahan berbahasa (language teaching and learning) yang begitu kompleks, yang mana tujuan akhirnya adalah bagaimana mereka menemukan metode pengajaran bahasa yang lebih baik sesuai tuntutan zaman. Tentu saja, setiap teori yang ada memiliki metode dan tempat tersendiri didalam pengajaran bahasa sesuai dengan karakteristiknya masing-masing serta fenomena yang ditemukannya. Namun, dalam pembahasan diatas hanya mengidentifikasi teori–teori seputar pemerolehan bahasa, tidak membahas metode pengajaran bahasa.

Teori Behaviorisme lebih banyak menekankan pada “Say what I say” (imitation, practice, reinforcement, and habit formation). Teori Innetisme mengatakan “It’s all in your mind” (Language Acquisition Device). Sedangkan teori Interaksionis lebih pada aspek sosial “there is a little help from your friends” (conversational interaction). Kemudian teori Kognitif berusaha menggabungkan kedua teori sebelumnya yaitu teori Behaviorisme dan Innetisme, namun penekanannya dititikberatkan pada aspek kognitif (the power of logical thinking) sesuai dengan pernyataan Jean Piaget yang berunyi “logical thinking underlies both linguistic and nonlinguistic developments”. Yang terakhir adalah hipotesis pemerolehan bahasa kedua dari Krasen yang bila kita perhatikan waktu kemunculannya adalah setelah teori-teori yang disebutkan diatas yaitu sekitar tahun 1970-an hingga saat sekarang ini masih sangat mendominasi dunia pengajaran bahasa. Krasen menekankan pengajaran, antara lain: fokus pada makna daripada bentuk, ciptakan suasana kelas yang lebih komunikatif dan bermakna, pusatkan pembelajaran pada siswa sehingga meraka merasa bebas mengungkapkan apa yang telah diperoleh tanpa dikoreksi lebih dahulu, dan ciptakan suasana kelas yang membangkitkan motivasi pembelajar untuk memaksimalkan proses pemerolehan bahasa kedua atau bahasa target. Serta hindari segala bentuk hukuman atas kegagalan pembelajar karena itu akan mematikan kreatifitas mereka (performance).

DAFTAR PUSTAKA

Brown, H. Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching. New Yersy: Prentice-Hall, Inc.

Chaer, Abdul. 2002. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta.

Clark, Herbert H.&Clark, Eve V. 1977. Psychology and Language: An Introduction to Psycholinguistics. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor.

Ellis, Rod. 1990. Instructed Second Language Acquisition. Cambridge: Basil Blackwell, Inc

Ghazali, Syukur. 2000. Pemerolehan dan Pengajaran Bahasa Kedua. Jakarta: Dikti Depdiknas.

Lightbown, Patsy M&Spada, Nina. 1999. How Language are Learned. Oxford: University Press.

Owens, Robert E JR. 1992. Language Development. New York: Macmillan Publishing Company.

Electronic Book. 2006. Encarta Encyclopedia